Beranda > Lembar Kajian > Separatisme, Bentuk Kekecewaan Terhadap Negara

Separatisme, Bentuk Kekecewaan Terhadap Negara

Semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” ditujukan sebagai jawaban atas perbedaan,  muncul dikarenakan beragamnya budaya bangsa ini. Ratusan suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dengan kekayaan alam melimpah di setiap pelosok negeri, serta ribuan pulau melengkapi kekayaan negara ini. Memiliki dua sisi mata pedang, keberagaman yang dimiliki dapat menjadi kekayaan tersendiri, atau menjadi sumber perpecahan. Benarkah bahwa keberagaman adalah anugerah sekaligus kutukan? Diskusi Rutin Lembaga Kajian Keilman Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang berlangsung 25 Februari 2010 mencoba menelaah sebab-sebab separatisme serta aspek-aspek yang melingkupinya.

Pembahas kali ini, Rangga Sujud Widigda, membuka diskusinya dengan slideshow yang menjelaskan pengertian Separatisme. Yang menurut KBBI merupakan paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri). Menurut pembahas, hal ini merupakan salah persepsi dan penyempitan makna. Hal itu dikarenakan bahwa separatisme dapat menunjukkan bentuknya tidak hanya dalam negara, namun juga agama, organisasi, bahkan suku. Untuk gerakan memisahkan diri dari negara, pembahas lebih setuju menggunakan kata seccesion yang sering digunakan dalam peristilahan hukum internasional.

Gerakan separatisme , bukanlah hal yang asing bagi dunia internasional. Separatisme merupakan momok bagi setiap negara, terutama negara yang mengklaim dirinya sebagai negara kesatuan. Dunia menyaksikan bahwa negara “Superpower” seperti USSR (Union of Soviet Socialist Republics) runtuh dan pecah. Belum lagi Yugoslavia, Cina, India, dan banyak negara lain menjadi korban dari gerakan ini. Bahkan jika ingin sedikit merunut ke belakang, kita dapat menemukan bahwa Indonesia juga pernah “gagal” membendung gerakan separatis yang berujung dengan lepasnya Provinsi Timor Timur (kini bernama Republik Demokratik Timor Leste) tahun 2002.

Bentuk dan akhir cerita gerakan separatis juga sangat beragam. Mulai dari aksi militan para pihak yang disebut “pemberontak”, gerakan politik (Cina dan Taiwan), hingga gerakan politik yang dilandasi prinsip agama (India dan Pakistan). Akhir ceritanya pun beragam, seperti perseteruan abadi layaknya Cina dan Taiwan, hubungan “baik” seperti Indonesia dan Timor Leste, atau pembantaian berdarah seperti di Bosnia dan Serbia. Namun penyebabnya selalu sama, kekecewaan terhadap Negara. Kekecewaan tersebut memuncak dan mengkristal menjadi sebuah gerakan inkonstitusional yang tidak lagi menghiraukan rambu-rambu hukum dan struktur kekuasaan. Dalam beberapa kasus bahkan berujung dengan perang saudara.

Menilik struktur sosial di Indonesia yang sangat majemuk, secara horizontal berupa adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama dan adat istiadat serta secara vertikal ditandai dengan perbedaan lapisan kelas atas dan bawah yang disebabkan oleh uang dan kekuasaan. Keragaman yang ada di Indonesia jelas sangat kompleks dan tidak dapat dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu sangat sulit untuk dapat menemukan berntuk integrasi sosial yang dapat menghindarkan Indonesia dari bahaya perpecahan. Hal itu diperparah dengan pembangunan yang tidak merata antara pusat dan daerah. Contoh dari berbagai daerah pun dapat dihamparkan dalam diskusi ini. Pembahas mengambil contoh beberapa daerah di Kalimantan yang belum dialiri listrik, padahal daerah tersebut berada di seberang tambang batubara yang notabene merupakan sumber energi penghasil tenaga listrik. Peserta diskusi lain juga mengungkapkan bahwa di Riau,kampung halamannya, potensi perpecahan sudah mulai terasa. Walaupun merupakan ladang minyak, namun hasil pembagian pendapatannya tidak seimbang. Ia menganggap pembagian pendapatan yang tidak seimbang itu tidak hanya antara pemerintah dan perusahaan asing yang mengelola sumur, namun juga antara pemerintah pusat dan daerah. Bahkan mati lampunya listrik di daerah penghasil minyak (yang juga sumber energi pembangkit listrik) sudah dianggap biasa. Campur tangan pemerintah dalam permasalahan klasik yang terjadi di setiap daerah penghasil sumber daya alam ini amat dibutuhkan. Hal itu terutama dalam melakukan rekapitalisasi perusahaan-perusahaan pengelola.

Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari 50 orang tersebut, terpapar juga penyebab lain di luar kekecewaan terhadap negara. Hal yang lebih prinsipil, perbedaan visi. Salah satu peserta mengambil contoh Gerakan Atjeh Merdeka yang muncul bukan karena kekecewaan semata. Perbedaan visi untuk mendirikan negara islam disinyalir menjadi sebab utama. Sejarah juga membuktikan bahwa di awal kemerdekaan perbedaan visi juga menjadi motif utama gerakan separatis (NII: Negara Islam Indonesia dan Westerling yang menginginkan bentuk serikat).

Faktor kelemahan peraturan perundang-undangan yang tidak mengayomi juga menjadi sorotan dalam diskusi ini. Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disorot oleh salah satu peserta diskusi sebagai peraturan yang “cacat”. Undang-undang tersebut dianggap memberikan kekuasaan terlalu besar terhadap bupati dan mengeliminasi beberapa kewenangan gubernur sehingga kontrol terhadap daerah amat lemah.

Korupsi dan inefisiensi pemanfaatan anggaran oleh daerah tidak lepas dari sasaran bahasan. Menyalahkan pemerintah pusat sepenuhnya tentu tidak bijak. Penyerapan anggaran yang kurang sempurna oleh daerah juga harus diperbaiki untuk mengembalikan kepercayaan rakyat daerah.

Tak hanya menguraikan masalah-masalah dan faktor penyebabnya, diskusi ini juga berusaha mencari pemecahan dan titik terang dari keruwetan gerakan separatisme. Dari sisi sosial, jalan keluar mengatasi kekecewaan rakyat daerah, terutama mengenai pembagian pendapatan daerah, adalah dengan transparansi. Selama ini rakyat daerah tidak pernah mendapatkan informasi yang sepadan mengenai presentase pembagian hasil  pengelolaan sumber daya alamnya. Jika hal tersebut belum cukup, maka pengikutsertaan masyarakat proses pengelolaan adalah mutlak. Bagi penyebab separatisme yang berakar dari gejala sosial, maka tak ada solusi lain selain rasa kebersamaan dan nasionalisme, faktor pengikat yang mungkin telah dilupakan harus diingat kembali.

Sebagai penutup diskusi, pembahas memberikan sedikit wejangan untuk mengingat jasa pahlawan yang telah mati-matian merebut dan mempertahankan NKRI. Sumbangan kecil dari kita, mahasiswa tentu akan sangat membantu.

unduh Lembar Kajian ini selengkapnya di http://www.4shared.com/file/230887743/cd42fc5b/Lembar_Kajian_2_Separatisme_Be.html

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar